Beranda | Artikel
Konsep Hukum Jual Beli Dalam Islam - Ushul Fiqih
Rabu, 27 Maret 2019

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Konsep hukum jual beli dalam Islam merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz DR. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. dalam pembahasan Kitab Qawaa’idul Fiqhiyyah (Mukadimah Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fikih Islam) karya Ustadz Ahmad Sabiq Bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Kajian ini disampaikan pada 28 Jumadal Awwal 1440 H / 04 Februari 2018 M.

Kajian Islam Ilmiah Tentang Konsep Hukum Jual Beli Dalam Islam – Ushul Fiqih

Pada kesempatan yang telah lalu, kita sudah sampai pada kaidah yang keempat dari kaidah yang bersumber dari nash-nash atau dalil syariat. Dan pada kesempatan kali ini, kita akan membahas kaidah yang kelima dari kaidah-kaidah yang diambil dari dalil-dalil syariat.

Kaidah tersebut berhubungan dengan kaidah jual beli atau berhubungan dengan akad. Kaidah tersebut berbunyi, “jual beli itu harus didasarkan kepada rasa suka sama suka.”

Dua orang yang sedang jual beli harus suka sama suka. Tidak boleh ada yang dipaksa, tidak boleh ada yang ditipu, harus suka sama suka. Inilah makna global dari kaidah ini.

Asal kaidah ini adalah dari hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

“Jual beli harus didasarkan atas rasa suka sama suka (saling meridhai).” (HR. Ibnu Majah)

Kalau tidak ada rasa ridha, tidak ada rasa suka, tidak ada rasa rela, maka jual beli tersebut tidak diperbolehkan.

Diantara dalil dari kaidah ini adalah Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nisa’ ayat 29:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا ﴿٢٩﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa[4]: 29)

Ini adalah dalil yang menunjukkan benarnya kaidah yang sedang kita bahas.

Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita untuk saling memakan harta diantara kita dengan cara yang batil. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala membenarkan perdagangan yang didasari atas rasa suka sama suka.

Oleh karenanya jangan sampai kita saling memakan harta diantara kita dengan cara yang batil, dengan cara yang dilarang oleh Islam, dengan cara mendzalimi orang lain, dengan cara menipu orang lain, dengan cara memaksa orang lain, jangan sampai kita melakukan hal-hal yang demikian. Karena sebenarnya jatah rezeki kita sudah ditentukan kadarnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan kadar tersebut tidak akan berkurang, tidak akan bertambah. Semuanya sudah ditentukan kadarnya. Makanya kita harus sabar dalam mencari rezeki. Dan yakinlah apapun yang kita lakukan tidak akan menambah jatah rezeki kita. Kalaupun kita melakukan semua yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menambah jatah rezeki kita, maka itu mustahil bisa kita lakukan, itu mustahil bisa kita dapatkan. Jatah rezeki kita sudah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum kita dilahirkan.

Sebagaimana disabdakan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ،

“Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini semuanya sudah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka jangan sampai kita mencari rezeki dengan cara yang batil, jangan sampai kita bekerja dan pekerjaan tersebut dilarang oleh Allah dan RasulNya.

Misalnya kita ingin harta kita bertambah lebih melebihi takdir kita, maka itu tidak mungkin kita lakukan. Jatah rezeki kita sudah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka carilah dengan cara yang dihalalkan. Yakinlah bahwa apabila kita benar-benar mencari rezeki kita dengan cara yang dihalalkan, maka jatah rezeki kita tidak akan berkurang sedikitpun. Semuanya akan disempurnakan rezekinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Makanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu telah bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan carilah yang baik dalam mencari dunia. Sesungguhnya sebuah jiwa tidak akan mati hingga terpenuhi rizkinya meski tersendat-sendat. Bertakwalah kepada Allah, carilah yang baik dalam mencari dunia, ambilah yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah)

Inilah pesan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jangan sampai kita memakan rezeki dari jalan yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan sampai kita mencari rezeki dengan jalan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Diantara jalan mencari rezeki yang tidak dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah apabila tidak ada saling kerelaan dia tidak ada rasa rela di antara penjual dan pembeli. Misalnya penjual memaksa untuk membeli barang yang dia jual. Maka ini tidak diperbolehkan, ini cara yang diharamkan. Begitupula pembeli, tidak boleh pembeli memaksa penjual untuk menjual barangnya karena jual beli itu harus atas dasar suka sama suka. Kalau dasar suka sama suka ini tidak ada dalam jual beli, maka jual beli tersebut menjadi jual beli yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Diantara dalil kaidah ini adalah Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nisa ayat 4, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا ﴿٤﴾

Jika mereka para istri menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa[4]: 4)

Ini menunjukkan bahwa dalam pemberian pun, seseorang harus didasarkan atas suka sama suka. Kalau ada orang memberi tapi karena terpaksa, maka jangan diterima. Kalau ada yang memberi atas dasar sungkan, maka jangan diterima.

Kaidah ini adalah kaidah yang sangat umum dan sangat luas maknanya. Inti dari kaidah ini adalah akad jual beli atau akad yang lainnya itu harus didasarkan suka sama suka.

Namun kaidah ini harus dibatasi dengan batasan-batasan yang lainnya. Diantara batasan tersebut adalah akad tersebut harus tidak dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila akad tersebut dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka walaupun didasarkan atas suka sama suka maka tetep tidak diperbolehkan. Ini adalah pengecualian yang pertama dari kaidah ini.

Simak penjelasannya pada menit ke-13:37

Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Konsep Hukum Jual Beli Dalam Islam – Ushul Fiqih


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46904-konsep-hukum-jual-beli-dalam-islam-ushul-fiqih/